TUHAN MEMANG (TIDAK) TAK ADIL  

Posted by: Fatizha Zhafira Sampurna


JULI, 2002
“ Bi, ayo cepat kita berangkat! Keburu siang nih “
Deruku pada Bi Inah yang sudah mengasuhku sejak bayi. Bahkan beliau sudah mengabdi pada keluargaku sebelum ayah dan ibuku menikah. Hari ini hari pertamaku bersekolah setelah liburan. Aku bersekolah di salah satu TK swasta bertaraf Internasional di Surabaya. Tentu saja aku tidak mau terlambat sampai di sekolah hanya karena kelelahan setelah berlibur bersama keluargaku di Bali. Bibi yang biasa mengantarkanku bersekolah sudah siap berada di samping pintu mobil.
“ Non, Pak Jupri sudah siap. Ayo naik ke mobil. Kita segera berangkat ke sekolah “
“ Ayah, Ibu, aku berangkat sekolah dulu ya.. Daah, Assalamualaikum “
Aku berpamitan kepada Ayah dan Ibu sembari mencium tangan mereka. Ayah mengelus rambutku lembut sambil mencium dahiku.
“ Waalaikumsalam, hati-hati ya sayang, sepulang sekolah jangan lupa tidur siang supaya tidak mengantuk. Nanti malam ayah ingin mengajak kalian semua makan malam di luar “
Hatiku senang tak terkira. Nanti malam ayah ingin mengajak makan malam bersama. Padahal hari ini kan bukan malam minggu. Makan malam bersama memang sudah menjadi jadwal wajib bagi keluarga kami setiap malam minggu datang.
 Aku meninggalkan rumah dengan gembira sambil bernyanyi lagu anak-anak kesukaanku. Bibi yang duduk disampingku hanya bisa tersenyum dan mencubit pipiku lembut. Ia sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.
***
“ Gimana sayang? Enak makanannya? “ tanya Ayah ketika makan malam.
“ Enak banget yah! Kapan-kapan kita kesini lagi ya?! “ sahutku dan kak Nio bersemangat.
Ya, aku punya seorang kakak laki-laki. Namanya Nio. Usianya terpaut 4 tahun dariku. Aku sering sekali bertengkar dengannya. Tapi tentu saja tak lama kemudian kami akan baikan dan bermain bersama lagi. Sebagian besar waktuku kuhabiskan bersama kak Nio. Hal ini karena ayah dan ibu kami sibuk bekerja. Mereka baru tiba di rumah pukul 7 malam, saat kami sudah mengantuk. Tapi kami tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari mereka.
“ Yah, makanan dan suasana disini bikin inget waktu kita di desa dulu ya? “ tanya Ibu kepada Ayah sambil tersenyum manis. Senyuman paling indah dan damai yang pernah aku lihat.
Sebelum ayah sempat menjawab, aku sudah menyambar pertanyaan ibu dengan pertanyaan lagi dengan rasa ingin tahu.
“ Di desa? Memangnya kita pernah tinggal di desa bu? Kok aku ngga tau sih? “
“ Iya, dulu ayah dan ibu pernah hidup di desa. Waktu itu kamu dan Kak Nio belum lahir sayang, bahkan disanalah tempat dimana Ayah dan Ibu pertama kali bertemu “
Rasa ingin tahuku semakin besar. Kak Nio juga tak kalah penasaran denganku. Kami memasang wajah serius membayangkan bagaimana asyiknya hidup di desa.
Gimana kalau liburan berikutnya kita berlibur ke desa dimana Ayah dan Ibu dulu tinggal? Supaya kalian pernah merasakan bagaimana rasanya hidup di desa “ usul ayah tiba-tiba.
Aku dan Kak Nio langsung menganguk setuju. Tak sabar rasanya menunggu liburan berikutnya.
***
AGUSTUS, 2002
" Sayang, kalian hati-hati di rumah ya. Jangan nakal sama Bi Inah dan Pak Jupri. Ayah sama Ibu ada tugas ke luar kota selama 3 hari di Kuningan. Nanti pulangnya ayah belikan oleh-oleh deh. Kamu jangan lupa shalat ya meskipun tidak diimami Ayah seperti biasanya” pesan Ayah ketika berpamitan.
“ Siap komandan! Hati-hati di jalan ya! “ sahutku dan Kak Nio sambil mengangkat tangan seperti orang sedang hormat.
***
“ Bi, Ayah sama Ibu mana sih kok ngga pulang-pulang? Aku kangen nih “
Entah kenapa Bibi menangis. Baru saja ia menerima telepon yang aku tak tahu dari siapa. Dan Bibi tiba-tiba menangis.
“ Non, besok kita ke Jogja ya? Ayo kita siapkan baju-baju Non yang mau dibawa “
“ Wah, ke Jogja? Kita liburan Bi? Asyik..!! Kak Nio.. Besok kita ke Jogja! Kita mau liburan! “
Bibi masuk ke kamarku dan Kak Nio untuk membereskan baju-baju yang akan dibawa. Aku dan Kak Nio sedang sibuk menyiapkan mainan yang akan kami bawa dan kami tunjukkan pada saudara sepupu kami yang ada di Jogja.
“ Bibi baik deh, nanti aku mau cerita Ayah sama Ibu kalo aku diajak liburan sama Bibi! “
***
Lho, Ibu di Jogja juga? Ayah mana bu? Ayo kita shalat berjamaah sama Ayah. Udah dzuhur “
Aku tiba di Jogja dan entah kenapa semua orang disana menangis. Termasuk Ibu. Kaki Ibu juga dibalut perban putih dan disampingnya ada sepasang tongkat yang aku tak tahu namanya, namun aku pernah melihatnya di rumah sakit saat dulu ikut nenek pergi terapi.
“ Kaki Ibu kenapa? Sakit ya? Mau aku pijit? “
Tanyaku seolah tak dihiraukan oleh Ibu. Pandangannya menerawang jauh. Tatapannya kosong. Bulir-bulir air turun satu demi satu dari sudut matanya. Lelah diabaikan oleh Ibu, aku menghampiri Bi Inah yang sedang menyuapi Kak Nio. Tak berbeda dengan Ibu, ada bulir air di sudut matanya. Dan sebuah senyum yang agaknya dipaksakan. Melihat hal ini membuatku mengurungkan niat untuk bertanya pada Bibi.
“ Pak Jupri.. Ayah kemana sih? Sudah 3 hari kita di Jogja, masa’ Ayah ngga pulang-pulang? Ibu aja udah sampe
Karena tak mendapat jawaban dari Ibu dan Bibi. Aku tak mau menyerah dan bertanya pada Pak Jupri, supir pribadi keluargaku.
“ Non, Ayahnya Non sekarang lagi di surga, itu lagi ngeliatin Non dari atas “
Tanpa diperintah akupun mendongak ke atas. Mencoba menemukan bayangan Ayah di langit.  Aku menemukannya. Sosok Ayahku ada disana. Membawa seikat mawar putih, bunga kesukaanku.
“ Pak Jupri, liat deh. Ayah ada di atas bawa bunga! Ayah! Cepet  pulang ya? Aku mau bunga dari Ayah! Mau aku taruh di kamar biar wangi “
Pak Jupri mengelus rambutku.
“ Iya Non, Pak Jupri juga liat. Ayah ganteng ya? Terlihat bahagia sekali liat Non senang liburan disini “
Iyadong! Ayahnya siapa dulu? Ngga ada yang lebih ganteng daripada Ayahnya Riri sama Kak Nio “ sahutku bangga.
Merasa tanyaku telah terjawab bahwa Ayah sedang di surga, hatiku sedikit lega. Artinya, aku sudah tak perlu lagi bertanya kesana kemari tentang keberadaan Ayah. Tapi ada rasa rindu yang mulai tumbuh, rindu akan suasana saat kami sekeluarga shalat berjamaah dengan diimami Ayah.
Satu hal lagi yang lupa aku tanyakan, aku lupa menanyakan dimana itu surga.

***
DESEMBER, 2006
“ Liburan kali ini Ayahku ngajak ke Thailand lho! Nanti kalian aku beliin oleh-oleh kok, tenang aja “
Manda bercerita dengan sangat bersemangat. Dari semua cerita yang aku dapat, beberapa temanku sudah menentukan akan kemana saat liburan nanti. Sedangkan aku? Entah sudah berapa kali liburan yang aku lewati dengan menunggu janji Ayah untuk liburan ke desa terpenuhi. Aku menunggu. Hanya menunggu kapankah Ayah akan pulang dari surga dan mengajakku liburan ke desa.
Tanpa sadar aku mulai terbiasa hidup tanpa Ayah. Jika ada temanku bertanya dimanakah ayahku, aku menjawab dengan santainya “ Ayahku sedang berjualan bunga di surga “. Betapa aku menganggap pekerjaan Ayahku adalah pekerjaan yang sangat mulia. Mengapa? Karena saat kutanya teman-temanku apakah pekerjaan ayah mereka, mereka menjawab dokter, tentara, polisi, guru, dan lain sebagainya. Tak ada satupun dari ayah mereka yang bekerja di tempat paling indah yaitu surga selain ayahku. Hebat kan?
Sekalipun aku mulai terbiasa hidup tanpa ayah, aku masih tak bisa membiasakan diri untuk shalat tanpa  ayah. Semenjak ‘kepergian’ ayah ke surga, aku semakin jarang shalat dan jarang mengaji. Padahal Ibu dan Kak Nio selalu mengingatkan dan mengajak shalat berjamaah. Aku seperti kehilangan seorang panutan, seorang yang paling aku kagumi, dan paling aku patuhi kata-katanya.
***
AGUSTUS, 2010
Umurku 13 tahun sekarang. Sudah bukan anak kecil lagi, sudah bukan anak TK yang bisa dibohongi dan ditipu dengan kata-kata. Aku sudah mengerti apa itu surga dan aku juga sudah mengerti apa itu kematian. Akhir-akhir ini baru kusadari bahwa ‘kepergian’ ayah ke surga adalah kepergian yang abadi. Kepergian yang tak akan pernah kembali.
Salahkah aku jika aku baru menangisi kepergiannya sekarang? Salahkah aku jika aku masih mengharapkannya kembali? Sesekali aku menyesal mengapa aku dilahirkan sebagai anak bungsu. Waktuku dengan ayah sangat sedikit dibandingkan waktu Kak Nio dengan ayah. Bahkan tak banyak memori yang bisa aku simpan dari 5 tahunku bersama ayah.
Pernah aku membuka album foto yang disimpan rapi di lemari Ibu. Di dalamnya terdapat banyak sekali foto Ayah. Bersama Kak Nio. Iya, jarang sekali ada foto ayah denganku. Karena saat itu aku masih dalam kandungan, atau bahkan belum tumbuh di rahim Ibu. Ingin rasanya aku marah pada Tuhan, aku merasa diperlakukan tidak adil. Aku sayang ayah, tapi mengapa waktuku dengannya hanya sebentar?
Banyak orang mengatakan Kak Nio sangat mirip dengan Ayah. Hingga di keluarga besarku mengatakan hal yang serupa. Mereka seperti menemukan sosok ayah yang hebat, cerdas, dan berwibawa dalam diri Kak Nio. Mungkin berlebihan, tapi aku merasa di-anak-tiri-kan. Kata orang, anak laki-laki akan lebih dekat dan disayang oleh ibu, sedangkan anak perempuan akan lebih dekat dan disayang ayah. Tapi, jika ayahku sudah tiada? Masihkah hal itu berlaku?
***
Aku masih merasa marah dan benci kepada Tuhan. Mengapa Ia mengatur hidupku dengan tak adil? Bahkan setelah Kak Nio diterima kuliah di kampus yang sama seperti Ayah dulu, aku semakin merasa tersingkir. Seluruh perhatian ibu tercurah pada Kak Nio. Semuanya mendahulukan Kak Nio. Karena amarah dan kebencianku, aku semakin jarang beribadah. Aku menganggap Tuhan tidak ada.
Namun ternyata diam-diam Ibu memperhatikan perubahan sikapku. Hingga malam itu Ibu menghampiriku yang sedang pura-pura tertidur karena sedang tak ingin banyak bicara dengan siapapun.
“ Sayang, maafkan Ibu ya kalau selama ini kamu merasa kurang diperhatikan. Ini bukan karena Ibu tidak sayang padamu, Ibu hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kalian berdua. Kalianlah kebanggaan Ibu saat ini nak. Ibu yakin, jika Ayah masih ada, dia pasti bangga mempunyai anak seperti kalian. Ibu juga yakin, pasti Ayah merindukan suara merdumu saat melantunkan doa-doa dan ayat suci untuknya di surga sayang “
Di akhir kalimatnya, Ibu mengecup keningku lembut. Air mataku mengalir. Aku tak peduli Ibu melihatnya atau tidak. Aku sadar, aku telah salah selama ini. Tak seharusnya aku membenci Tuhan. Tak seharusnya aku mengeluh bahwa hidup ini tidak adil. Rencana Tuhan lebih indah dari apapun. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalani segala keputusan-Nya dengan sebaik mungkin.
Saat kudengar pintu kamar ditutup, aku bangkit dari tempat tidurku. Aku segera mengambil air wudhu. Kukenakan mukena putihku untuk menghadap Tuhan. Memohon ampun kepada Tuhan karena telah membenci-Nya, mendoakan Ayahku supaya mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an demi kebahagiaan Ayahku di surga. Dan tentu saja, membiasakan diri untuk shalat tanpa diimami oleh Ayah.

******

This entry was posted on 06.03 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar